Senin, 12 Desember 2016


Ukuran mata petai memang tak lebih besar dari koin Rp 500. Akan tetapi, dari ukuran yang kecil tersebut, petai mampu menghasilkan aroma dan cita rasa yang menggugah selera. Meski tak semua orang menyukai aroma yang dimiliki petai, petai tetap menjadi salah satu jenis polong-polongan bernilai ekonomi luar biasa dan banyak dicari. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Barat, petai merupakan salah satu 'primadona' yang cukup populer untuk dijadikan sebagai hidangan pelengkap hingga hidangan utama.

Yang cukup menarik dari petai ialah jumlah varietasnya yang tak terhingga. Petai berasal dari biji sehingga tiap biji petai yang ditanam akan menghasilkan jenis petai yang berbeda pula. Oleh karena itu, meski semua petai terlihat hampir serupa, pada dasarnya petai-petai yang ada di pasaran berasal dari jenis yang berbeda-beda. Jadi, jika ada sejuta biji yang ditanam, ada sejuta varietas petai yang berbeda. Kecuali, jika petai dikloning dengan dicangkok atau diokulasi. Dia akan sama persis dengan 'ibu'nya.

Meski petai memiliki jumlah varietas yang sangat beragam, ada beberapa 'patokan' dalam mengategorikan petai yang umumnya jarang diperhatikan masyarakat. Patokan ini setidaknya mengerucutkan varietas-varietas petai ke dalam tiga kelompok besar, yaitu petai normal, petai padi, dan petai super. Petai normal merupakan petai yang umumnya ditemukan di pasaran. Jumlah mata petai yang dimiliki oleh jenis ini hanya berkisar antara 12 dan 15 buah mata dalam satu papan petai. Sedangkan, petai padi memiliki ciri khas berupa panjang papan yang lebih pendek dengan jumlah mata petai paling banyak 11 buah. Meski hanya sedikit, mata petai padi memiliki ukuran yang cenderung besar. Kelompok ketiga, yaitu petai super, dapat dikenali melalui jumlah mata petai yang lebih banyak dari petai pada umumnya. Dalam satu papan, petai super dapat memiliki jumlah mata di atas 20 buah.


Selain itu, petai juga dapat dikenali berdasarkan kualitasnya. Petai yang berkualitas memiliki papan yang lurus, panjang, dan bermata banyak. Sedangkan, petai 'kelas 2' memiliki papan yang cenderung melintir. Papan petai yang melintir menunjukkan bahwa petai tersebut terlalu muda saat dipetik atau memang dari awal memiliki 'bakat' yang tidak begitu baik. Sedangkan dari faktor rasa, variasi petai ada yang kecil menyengat, ada yang besar tetapi rasanya ringan, dan ada yang cenderung pahit atau manis. Semuanya tergantung selera.

Di Indonesia, pada dasarnya, ada sekitar satu atau dua jenis petai yang telah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Sayangnya, jenis petai ini tidak dikembangkan dan dibibitkan secara massal sehingga hanya menjadi 'jagoan lokal' saja. Oleh karena itu, mantan direksi Taman Buah Mekarsari Dr Ir Mohammad Reza Tirtawinata MS, yang juga dijuluki Ayah Asuh Bibit Petai, saat ini terdorong untuk mencari petai-petai unggul dari berbagai wilayah di Indonesia untuk kemudian diokulasi induknya. Dengan begitu, peluang untuk mendistribusikan petai berkualitas ke berbagai wilayah di Indonesia akan terbuka. Pada tahun 2014, misalnya, pria yang akrab disapa Reza ini pernah mendatangi sebuah desa kecil di Kalimantan Barat bernama Bale Karangan. Tujuan utamanya kala itu sebenarnya ingin berburu durian di pasar kaget yang diselenggarakan di desa tersebut setiap pekan, yaitu Pasar Pekan. Akan tetapi, saat sedang melakukan pencarian durian, Reza menemukan petai dengan tandan yang besar, jumlah papan yang banyak dengan bentuk yang lurus, serta jumlah mata petai yang mencapai 20. Ia mengaku sebelumnya tidak pernah melihat petai sebaik itu di Pulau Jawa. Sayangnya, penjual petai tidak mengetahui di mana letak pasti pohon petai yang berkualitas itu. Sang penjual hanya mengetahui bahwa petai tersebut berasal dari hutan. Karena tak berhasil menemui pohon induknya, Reza pun segera memborong sekitar 50 papan petai unggul tersebut untuk ditanam dari bijinya, meski bila menanam dari biji berisiko berubah bentuk, tidak sama dengan induknya.


Yang menjadi tantangan, menurut Reza, ialah memperbanyak bibit petai yang berkualitas karena belum ada pengusaha yang tertarik untuk fokus menjadi pembibit petai. Padahal, untuk memenuhi pasar Jakarta saja, diperlukan sekitar seribu hingga 10 ribu pohon petai kolonal atau hasil kloning dari induk petai berkualitas. Penanaman petai hasil kloning atau okulasi ini kemudian memerlukan waktu lima-10 tahun hingga membuahkan hasil yang memadai. Sejauh ini, alumnus Institut Pertanian Bogor ini menemukan ada beberapa daerah yang memiliki petai berkualitas super. Petai dari Gunung Karang, Pandeglang, misalnya, memiliki 21 mata petai dalam satu papan. Selain di Pandeglang, petai-petai yang berkualitas juga Reza ditemui di Lampung serta Kalimantan Barat. Petai-petai tersebut dapat tumbuh dengan baik karena ditunjang oleh beberapa faktor penting. Salah satunya, petai ditanam dengan ketinggian ideal, yaitu 200-800 meter di atas permukaan laut. Selain itu, petai-petai di daerah tersebut juga mendapat curah hujan yang cukup. Menurut Reza, daerah Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, yang curah hujannya merata setiap tahun sangat bagus untuk ditanam petai. Tapi bila di NTB, NTT, akan menjadi kurang bagus karena daerahnya terlalu kering. Dari petai-petai unggul ini, Reza kemudian melakukan okulasi pada induk petai untuk memperbanyak bibitnya. Akan tetapi, jika ia tidak berhasil menemukan induk pohon dari petai berkualitas yang ia temukan, ia akan mencoba menanam petai tersebut dari biji meski kemungkinan besar petai baru yang akan dihasilkan tidak sama persis kualitasnya.

Tiap daerah pun memiliki rasa petai yang cenderung berbeda. Rasa petai di Jawa Barat cenderung lebih lezat jika dibandingkan dengan petai dari daerah lain. Salah satu alasannya, petai di Jawa Barat cenderung dipanen ketika berusia tua sehingga terasa segar dan beraroma lebih menggugah. Terlepas dari jenisnya yang beragam, semua petai cocok untuk diolah dalam berbagai metode memasak. Hanya, memasak petai perlu memperhatikan waktu karena petai akan berkurang kelezatannya jika dimasak terlalu lama. Idealnya, petai dimasukkan paling akhir dalam proses mengolah masakan. Dalam makanan berkuah, misalnya, petai lebih baik dimasukkan saat lima menit sebelum masakan matang. Selain itu, pemilihan bumbu yang tepat juga penting dalam pengolahan petai. Meski pada dasarnya semua bumbu cocok untuk dikombinasikan dengan petai, namun disarankan agar petai disandingkan dengan bumbu yang kuat, seperti terasi hingga cabai. Jika bumbu terlalu ringan, cita rasa bumbu akan kalah dengan petai. 


Meski sebagian orang tidak menyukai aromanya, petai pun sebetulnya menyimpan khasiat yang baik bagi kesehatan. Salah satunya, petai mengandung serat yang tinggi sehingga baik untuk kesehatan perut. Meski begitu, juga tidak disarankan petai disantap terlalu sering. Pasalnya, petai mengandung zat besi yang cukup tinggi sehingga lebih baik disantap dengan tidak berlebihan. Aroma yang kuat memang tidak bisa dipisahkan dari petai, akan tetapi, setidaknya ada dua cara sederhana untuk meminimalkan aroma kuat dari petai ini. Salah satunya ialah dengan mengkonsumsi buah setelah menyantap petai. Cara lainnya, ialah dengan menyeruput minuman yang telah diberikan daun mint.

0 komentar:

Posting Komentar